Cinta sejati yang kembali

19.38



Siang ini aku menyusuri koridor dimana seluruh fikiranku hanya terpusat padanya. Letih lesu yang kurasakan tadi seolah menghilang dan berubah menjadi kekhawatiran yang teramat dalam. Yang mengganggu fikiranku saat ini adalah keadaannya. Keadaan dia setelah bis besar menghantam mobil yang dikendarai 1 jam yang lalu. Kejadian ini antara nyata dan tak nyata bagiku, tapi aku merasakan sakit dan air mataku tumpah setelah mendengar berita kecelakaannya. Itu menandakan bahwa aku sedang tidak bermimpi, ia sedang terbaring merenggang nyawa disini, di rumah sakit ini. Bunyi langkah kakiku yang berirama cepat masih setia menemani hingga aku menemukan sebuah kamar yang membuatku terhenti.
"Semoga kamu tidak apa-apa." Batinku sambil berjalan memasuki ruang ICU. Telah terbaring dia yang selama ini sanggup mengusir kesepianku. Meskipun sampai saat ini aku masih belum dapat menumbuhkan cinta untuknya. Entah aku harus bersyukur atau mengeluh setelah melihat dirinya,  karena ada perban yang terbalut di kepalanya. Air mataku kembali berjatuhan melihatnya terlelap. Aku tak mampu mengucap sepatah kata pun, hanya berdiri dan memegang tangannya. Aku tak tahu harus berapa lama ia terbaring disini, merasakan kesakitan yang pasti tengah menghantuinya. Ingin aku memeluknya dan berbisik pelan di telinganya untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun aku tak bisa.

"Tisya," seseorang memegang bahuku. Kuarahkan pandangan kebelakang.
Seketika sejumlah pertanyaan menggantung di kepalaku ketika melihat sosok pria yang berada di hadapanku.
"Aldo." Butuh beberapa detik untuk menyadarkanku bahwa keberadaannya ini adalah nyata.
"Menghilang kemana, kamu selama ini?" hal pertama yang sudah sangat lama ingin ku utarakan kepadanya dengan air mata yang belum berhenti membasahi pipi.
Dia terdiam seolah kehilangan kata-kata dan hanya menatap dalam mataku. Aku berusaha untuk memalingkan pandanganku dengan melihat kearah tempat kekasihku tertidur.
"Aku butuh bicara, Sya. Kita bicara di luar ya." Ia memegang tanganku namun segera aku lepaskan.
"Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, Do. Aku sudah bisa melupakanmu." Aku berusaha tersenyum diatas tangisanku.
"Kamu bohong. Kita bicara sebentar di luar, ya?" tuduhan yang dilontarkannya seolah tepat mengenai hatiku.
"Aku tunggu kamu di depan." Ia berjalan menjauhiku dan keluar dari ruangan ini.
Sesungguhnya ada sedikit kebahagiaan yang terasa di hati ketika aku masih dapat melihat jelas mata itu, mata seseorang yang masih aku cintai dengan penuh. Namun tak dapat kupungkiri juga bahwa aku merasa kecewa dengan dirinya. Rasa sakit yang kurasakan sejak ia menghilang tidak dapat terhapuskan hanya dengan kehadirannya. Hati kecilku ingin sekali menemuinya di luar dan menanyakan semua pertanyaan yang membuat hatiku resah selama ini sebelum akhirnya aku bertemu dengan Neo. Jujur, masih ada cinta untuknya. Karena kalau rasa itu sudah mati, aku tak akan pernah ingin tahu lagi tentang dirinya. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan menemui Aldo, cinta pertamaku.

Terlihat ia sedang duduk sambil menatap kearah kaki yang ia gerakkan dengan pelan. Aku tak dapat menahannya lagi, semua seolah ingin tumpah di hadapannya ketika aku duduk tepat di samping kanannya. Aku kembali menangis tanpa mengatakan apapun.
"Maafkan aku, Sya." Kata pertama yang diucap sambil meraih tanganku. Aku tak dapat menolak lagi, aku membiarkan tangan ini berpadu bersama tangannya yang dulu pernah melindungiku.
"Aku nggak bermaksud untuk menghilang dari kehidupanmu, ini semua terjadi begitu cepat." Suaranya terdengar sedikit serak.
"Aku mencintaimu, Sya. Aku masih menyayangimu." Ia mencoba memelukku namun aku segera berdiri.
"Kamu! kamu menghilang selama lebih dari setahun dan tak pernah memberikan kabar bahkan satu kabarpun!! kenapa, Do? dan sekarang kamu datang, terus mengatakan bahwa kamu masih menyayangiku. Kamu anggap apa aku ini? sampah?"
"Bukan begitu, Sya, semua ini --"
"Cukup! perlu kamu ketahui, orang yang terbaring di dalam sana adalah pacarku. Dia yang membantuku untuk keluar dari masa suramku, masa dimana aku kehilangamu. Kamu tau betapa sakitnya aku, Do?" masih dengan keadaan menangis, aku mencoba untuk mengungkapkan kegelisahanku.
"Aku terlalu sakit, do, sakit. Mungkin ada bagusnya kamu menghilang lagi, jangan pernah lagi temui aku." Aku berjalan menjauhinya.
"Aku masih menyayangimu." Ia menahan tanganku dan mendekap erat tubuhku. Kemejanya basah karena tangisku.
"Aku masih menyayangimu, Tisya." Ia mengulang kata yang sama. Seketika aku merasakan telingaku yang basah karena air mata seseorang. Ternyata Ia menangis tertahan.
Aku tak dapat melihat jelas matanya namun aku tahu bahwa tangisnya tulus. Aku sungguh dapat merasakan, tangisan ini sama dengan tangisan yang terakhir kali kudengar ketika ia kehilangan ibunya untuk selamanya. Entah apa yang telah terjadi selama ini dan apa yang telah ia alami semenjak tak ada kabar darinya seolah membuatku antara ingin dan tak ingin tahu. Karena aku telah berjanji untuk melupakannya dan mencintai Neo yang saat ini tak berdaya. Meskipun hingga saat ini aku masih belum dapat melakukannya. Aku bingung untuk menghadapi semua ini. Aku terlalu takut untuk memikirkan hal yang akan terjadi setelah ini. Aku masih  mencintai Aldo namun aku tak sanggup menyakiti Neo. Hal yang sedang aku alami ini mampu membuatku berfikir keras untuk menuntun hati kejalan yang benar dan saat ini perasaanku masih hanyut dalam tangisannya.

"Kak Tisya." Aku mengedarkan pandangan kearah suara itu berada.
"Kak Tisya ngapain pelukan dengan pria lain sedangkan Mas ku masih merenggang nyawanya disini?"
Bergegas aku melepaskan pelukan Aldo dan mencoba membuat Gita mengerti akan peristiwa yang baru saja ia lihat.
"Ini semua nggak seperti yang kamu pikir, Ta."
"Terserah apa kata Kak Tisya. Sekarang Mas ku ada dimana?"
"Disana Ta, ruang ICU." Aku meluruskan tangan menunjuk kearah ruangan tempat Neo berada.
"Aku pastikan Mas Neo akan mengetahui tingkah laku kakak." Ancamnya meninggalkanku.
"Gita." Aku mencoba mengejarnya namun tertahan oleh tangan Aldo.
"Mau apa lagi? belum cukup udah nyakitin aku dan membuat Gita menjadi salah paham terhadapku? apa lagi yang kamu mau?"
"Kamu." Jawabnya tegas.
"Jangan pernah berharap aku akan kembali padamu, Do."
"Aku akan terus berharap."
"Terserah apa katamu."
"Demi impian kita yang akan kita wujudkan bersama, rumah pohon yang akan kita bangun di halaman belakang rumah kita kelak dan demi anak-anak kita nanti yang harus merasakan indahnya teras yang dipenuhi oleh puluhan jenis bunga."
Seketika aku terdiam mendengarkan semua impian yang pernah kami sepakati dulu.
"Tapi sekarang udah berbeda, Do. Situasinya udah nggak sama, aku udah jadi miliknya Neo."
"Tapi kamu nggak pernah mencintainya, yang kamu cintai hanya aku sampai saat ini. Terus untuk apa semua dilanjutkan, untuk apa kamu tetap melanjutkan sandiwara ini, Sya?
"Jangan pernah merasa kalau kamu tau segalanya tentang diriku lagi."
"Sya, berhentilah berpura-pura." Pintanya lembut.
"Do, kamu uda nggak tau lagi semua tentangku, tentang masalahku. Lebih baik kamu pergi!"
"Aku tau, Sya. Aku tau dirimu, aku tau siapa kamu dan aku tau semua masalahmu. Karena masalahmu masih sama yaitu kamu masih belum dapat melupakanku, kamu masih mencintaiku. Benarkan?"
"Sudahlah Do, aku tak ingin membahas lagi semua masa lalu. Ini hanya mimpi buruk bagiku."
"Ini bukan masa lalu, Sya. Karena semua masih terjadi saat ini, karena kamu masih mencintaiku hingga detik ini. Ijinkan aku membangunkanmu dari semua mimpi burukmu." Ia meraih lagi tanganku. Untuk sekian kali air mataku tumpah.
"Iya kamu benar, aku memang masih mencintaimu. Aku bahkan terus menerus mengharapkan kedatanganmu selama setahun terakhir, aku berharap aku dapat melihat lagi matamu itu, aku.., aku terlalu takut untuk menghadapi semua ini sendiri. Karena tanpamu, aku bagaikan lilin tanpa api. Aku bukan lagi redup, aku bahkan tak bercahaya, Do. Aku kehilangan cahayaku. Aku kehilanganmu. Namun setelah melihatmu dihadapanku saat ini, aku semakin mengerti bahwa seharusnya aku membencimu lebih dari ini. Lebih dari yang telah yang kamu lakukan padaku." Air mataku semakin deras mengalir.
"Aku bukan manusia yang tak punya hati sepertimu. Aku nggak akan pernah meninggalkan Neo hanya untuk orang yang dengan sengaja mencampakkanku. Kumohon, menjauh dariku mulai saat ini!" Aku berlari menuju pintu keluar dan pergi meninggalkannya. Aku seperti tak dapat berfikir, hanya hati yang terasa sakit dan terus memaksa mata untuk menangis.

Mobilku melaju membelah jalan raya untuk waktu yang lama. Setelah tiba di tempat yang kutuju, aku berjalan mendekati bibir pantai. Kupejamkan mata untuk beberapa saat sambil merasakan tiupan angin yang segar. Semua kenangan seolah terulang kembali, semua tawa canda dan tangis pilu yang dulu pernah terjadi terekam jelas dibenakku. Aku memeluknya, ia menggendongku dipundaknya, aku mengejarnya diatas pasir putih ini, dan sejumlah rangkaian kejadian yang kini hanya menjadi kenangan masih belum dapat terhapus dari memori ingatanku. Karena kuakui, aku memang masih mencintainya hingga saat ini. Entah bagaimana caranya untuk menghapus rasa ini dan belajar untuk sepenuhnya mencintai Neo. Bahkan meskipun hati ini telah dilukai oleh Aldo masih belum mampu membuatku untuk menghapus dirinya. Aku ingin merasakan kembali hangat pelukannya. Aku masih ingin mengulang masa-masa bahagiaku bersamanya, masa dimana rasa ketakutanku saat itu hanya ketika ia meninggalkanku bukan seperti saat ini karena rasa ketakutan terbesarku sekarang yaitu untuk kembali bersamanya. Aku takut terluka untuk yang kedua kali dan aku takut untuk mengecewakan Neo. Bagaimana pun ia yang dengan tulus menyayangiku dan membantuku untuk menghadapi semua masalahku. Harusnya aku dapat menyadarkan diri untuk lebih mencintainya dan menutup cerita cinta bersama Aldo. Harusnya seperti itu, namun terkadang hati dan otak tak memiliki pendapat yang sama. Ketika otak meminta hati untuk membenci seseorang yang telah menyakitiku, namun hati tak sanggup melakukan hal itu apalagi jika seseorang itu adalah orang yang pernah kucintai dengan sangat. Itulah yang terjadi padaku saat ini.

“Aku tidak pernah salah ketika mengatakan bahwa kamu masih mencintaiku, bahwa aku tau semua tentangmu bahkan hingga saat ini.” Seseorang menyadarkan lamunanku.
“Bahkan setelah semua ini berlalu, kamu masih saja mengunjungi pantai ini dan mengingat semua kisah kita. Kembalilah padaku, Sya. Aku masih sangat menyayangimu.” Lanjutnya.
“Apa yang harus aku lakukan? katakan padaku, Do, katakan. Aku tak sanggup menghadapi semua ini sendiri, menanggung semua beban dan rasa bersalah ini sendirian. Ketika aku masih mencintaimu namun rasa sakit ini masih erat melekat, dan ketika aku harus memilihmu namun aku telah memilikinya. Apa yang harus aku lakukan?”
 “Maafkan aku Sya, selama ini telah membuatmu terluka. Aku sama sekali  tak bermaksud melakukan semua itu. Sejak kepergian Ibu, Ayahku memintaku untuk menyusulnya ke Amerika karena ia merasa bahwa aku tak memiliki siapa-siapa lagi selain dirinya. Awalnya aku menolak, namun ia mengancam akan menyakitimu  dan membuatmu membenciku dengan orang-orang bayarannya disini. Aku bingung dengan caranya berfikir, bagaimana bisa ia tak memiliki hati dan cinta sehingga dengan gampang ia mengancamku seperti itu. Aku tau bahwa dia orang yang begitu keras.”
“Bagaimana bisa kamu membohongiku selama ini, Do? kamu mengatakan bahwa ayahmu sudah meninggal.”
“Itu yang membuatku menghilang, Sya. Aku tak mau membuatmu bingung dengan semua kebohonganku. Sebenarnya aku terlalu benci dengan Ayah, orang yang telah meninggalkanku dan Ibu disini tanpa memikirkan kehidupan kami yang sangat membutuhkan seorang kepala keluarga. Itu yang membuatku selalu mengatakan bahwa ayah telah meninggal karena sebenarnya ia memang sudah mati bagiku sejak kepergiannya 12 Tahun yang lalu. Ternyata selama ia menghilang, ia selalu meminta orang memantau perkembanganku hingga aku besar. Aku tak tau apa yang ada dibenaknya. Ia tak pernah berniat pulang untuk melihat keadaan ibu sewaktu sakit. Entah terbuat dari apa hatinya. Jika memang ia tak mencintai Ibu lalu untuk apa dulu menikahi Ibu dan melahirkan aku? aku merasa seperti anak yang tak diinginkan olehnya. Ia hanya mencariku ketika aku kehilangan satu-satunya keluargaku dan memaksaku untuk mengikutinya dengan mengancam untuk menyakitimu, orang yang begitu kucintai.”

“Maafkan aku, sayang. Aku baru bisa menceritakan semua masalahku saat ini. Maafkan aku menghilang tanpa jejak karena aku tak mau ini menjadi beban untukmu dan aku tak akan pernah bisa melihatmu disakiti oleh siapapun. Berat untuk meninggalkanmu namun aku tak memiliki pilihan apapun. Itu mengapa aku mengikuti semua kemauan Ayahku dengan syarat bahwa ia harus mengirimkan orang untuk terus memantaumu dan menjagamu, karena aku tau aku tak dapat berada di sampingmu untuk melindungimu lagi. Itu alasannya hingga saat ini aku masih sangat mengenalmu, aku dapat mengetahui apa saja yang terjadi padamu dan apa saja masalah yang kamu alami karena aku mengintaimu dari jauh.”
Hal yang baru saja aku dengar dari mulut Aldo mampu membuatku kehilangan kata-kata. Semua ini menyadarkanku bahwa aku tak harus membenci dirinya. Yang kurasakan saat ini hanya ingin memeluknya. Namun tanpa perlu aku katakan, Aldo memang seolah mengetahui semua tentangku. Ia seperti dapat membaca fikiranku. Ia meraih tubuhku dan menghanyutkanku kedalam pelukannya.
“Aku pulang kesini karena aku sudah tak dapat menahan rindu padamu, Sya. Aku sangat merindukan dirimu dan semua tingkah lakumu. Dan selama ini aku selalu menjaga hati untukmu Sya, sampai waktunya tiba dimana aku bisa memelukmu lagi dan melihat senyummu.”
Aku tak berniat untuk mengatakan apapun karena yang kuinginkan saat ini hanya memeluknya dalam keheningan. Namun Aldo kembali melanjutkan ucapannya.
“Besok aku akan kembali lagi ke Amerika.”
Pernyataan itu seolah mencambuk kembali hatiku yang baru saja kering lukanya. Aku melepaskan pelukan dan menatap matanya.
“Lalu untuk apa kamu menemuiku kalau hanya untuk meninggalkanku lagi?”
“Bercanda sayang, serius amat.” Ia mencolek hidungku seperti yang sering ia lakukan padaku dulu. Ternyata tak ada yang berubah darinya hanya penampilannya yang jauh lebih rapi dibanding dulu.
“Aku uda bicarakan dengan Ayah dan memintanya untuk membiarkanku pulang ke Indonesia demi menemui cinta sejatiku. Dan akhirnya ia mengijinkannya dengan syarat aku harus membangun usaha disini dengan modal yang ia beri dan bekal ilmu yang sudah kudapat darinya disana. Dan ada dua syarat lagi yang harus aku penuhi karena telah memberiku ijin untuk pulang menemuimu.”
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Pertama ia memintaku untuk terus mengunjunginya kesana dan kepergianku harus selalu didampingi oleh cinta sejatiku.”
“Terus?”
“Yang kedua, Ayah menginginkan cucu dari kita.”
Pernyataannya membuatku tersenyum dan tersipu malu.
“Yuk, kita buatkan cucu untuk Ayah.” Goda Aldo yang mengagetkanku.
“Aldo!!” spontan aku memukuli lengannya. Ia tertawa geli melihat tingkahku.
“Bercanda, sayang.” Ia mengecup keningku dengan lembut. Namun kembali aku memikirkan Neo yang membuat raut wajahku berubah murung seketika.
“Kamu kenapa, Sya?”
“Neo, Do. Aku bingung bagaimana untuk menjelaskan padanya, aku terlalu takut menyakitinya. Ia sudah sangat baik dan menyayangiku selama ini.”
“Belumkah kamu menyadarinya, sayang? Neo adalah orang yang memang dibayar oleh ayah untuk selalu menemanimu dan menjagamu dari bahaya. Dia adalah teman kecilku. Dan aku nggak akan pernah rela kalau kamu jadian sama orang lain, itu yang membuatku meminta kepada Neo untuk melakukan semua ini untukku, karena aku sangat mengenalnya. Dan aku yakin kalau aku pasti akan kembali untuk menjemputmu, Sya. Memang akhir-akhir ini Neo berusaha menolak uang kiriman Ayah karena sepertinya ia jatuh cinta beneran denganmu dan ingin melindungimu dengan tulus. Itu yang membuat Ayah menjadi khawatir kalau aku akan patah hati dan mengijinkanku untuk pulang menjemput cintaku. Entahlah, Ayah seperti kembali mengenal rasa cinta sejak ia memiliki istri yang baru. Ia seperti tau bagaimana rasanya kehilangan.”
“Jadi selama ini, Neo adalah orang panggilan Ayahmu? semua ini sulit untuk kupercaya. Bagaimana bisa kamu meyakinkan dirimu bahwa aku masih menyimpan cinta untukmu?”
“Karena aku mendengar sendiri dari Neo bahwa ia melihat tidak ada cinta di matamu untuknya, ia berkata matamu tidak bersinar ketika melihatnya. Hal yang meyakinkanku bahwa kamu masih sangat mencintaiku, karena aku masih mampu merasakan sinar matamu Sya hingga saat ini.”
“Kenapa kamu bisa melakukan hal senekat ini, Do? bayangkan aja kalau misalnya aku beneran mencintai Neo dan mampu melupakanmu. Tentunya kita nggak akan pernah bisa bersama lagi.”
“Aku akan berbuat apapun untuk mengembalikan cintamu padaku.”
“Bagaimana bisa, sedangkan ketika hati seseorang telah bersemi untuk orang baru tentu sulit untuk mengembangkan hati lama yang telah layu.”
“Aku akan cari obat apapun untuk mengembangkan hatimu yang sudah layu itu Sya, kemanapun akan aku cari asal bisa mendapatkanmu kembali.”
“Mana ada obat seperti itu.”
“Pasti ada, karena kamu harus tau ketika dua orang telah ditakdirkan untuk berjodoh maka apapun obatnya tentu udah disiapkan oleh Tuhan agar ia dapat menjemput kembali jodohnya. Dan aku sangat yakin bahwa kamulah jodohku sejak pertama kali aku melihatmu.”
“Gombaaaaaal.” Aku melambungkan cubitan di pipinya.
“Seriusan sayang. Yuk pulang, besok aku akan kembali lagi ke RS dan mengurusi semua biaya Neo sekaligus berterima kasih kepadanya karena telah menjagamu hingga aku kembali menjemputmu.”
“Iya Do, besok aku juga mau bertemu dengan Neo dan meminta maaf kepada Gita.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Untuk kejadian tadi di RS.”
“Jangan, biarkan itu menjadi masalahku dengan Neo. Aku nggak mau kamu dijadikan bahan cercaan Gita.”
“Tapi bagaimana kamu bisa mengenal Gita dan dia tidak mengetahui semua masalah ini?”
“Aku yang meminta Neo untuk merahasiakan ini dari siapapun termasuk adiknya. Dan berhubung Neo adalah teman kecil, Gita tidak terlalu mengenaliku. Karena dulu aku jarang sekali menemui Neo dirumahnya. Kalau memang kami saling membutuhkan biasanya kami bertemu di luar.”
“Pantas aja. Yuk, pulang.”
“Tunggu, aku sudah memanggil orang untuk membawa mobilmu pulang dan kamu ikut bersamaku. Karena aku nggak mau kamu pulang sendirian. Habis nangis lagi, pasti kamu mengantuk.”
“Terima kasih sayang, kamu memang selalu memperhatikanku dari dulu.”
“Semua ini kulakukan karena aku sangat menyayangimu, Tisya.” Sekali lagi ia mengecup lembut keningku. Aku merasa menjadi perempuan beruntung di dunia ketika mendapatkan cintanya, cinta yang masih sama besarnya seperti dulu, cinta pertamaku.



You Might Also Like

0 komentar