Cinta sejati yang kembali
19.38
"Semoga
kamu tidak apa-apa." Batinku sambil berjalan memasuki ruang ICU. Telah
terbaring dia yang selama ini sanggup mengusir kesepianku. Meskipun sampai saat
ini aku masih belum dapat menumbuhkan cinta untuknya. Entah aku harus bersyukur
atau mengeluh setelah melihat dirinya, karena
ada perban yang terbalut di kepalanya. Air mataku kembali berjatuhan melihatnya
terlelap. Aku tak mampu mengucap sepatah kata pun, hanya berdiri dan memegang
tangannya. Aku tak tahu harus berapa lama ia terbaring disini, merasakan
kesakitan yang pasti tengah menghantuinya. Ingin aku memeluknya dan berbisik
pelan di telinganya untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun
aku tak bisa.
"Tisya,"
seseorang memegang bahuku. Kuarahkan pandangan kebelakang.
Seketika
sejumlah pertanyaan menggantung di kepalaku ketika melihat sosok pria yang
berada di hadapanku.
"Aldo."
Butuh beberapa detik untuk menyadarkanku bahwa keberadaannya ini adalah nyata.
"Menghilang
kemana, kamu selama ini?" hal pertama yang sudah sangat lama ingin ku
utarakan kepadanya dengan air mata yang belum berhenti membasahi pipi.
Dia
terdiam seolah kehilangan kata-kata dan hanya menatap dalam mataku. Aku
berusaha untuk memalingkan pandanganku dengan melihat kearah tempat kekasihku
tertidur.
"Aku
butuh bicara, Sya. Kita bicara di luar ya." Ia memegang tanganku namun
segera aku lepaskan.
"Nggak
ada lagi yang perlu dibicarakan, Do. Aku sudah bisa melupakanmu." Aku
berusaha tersenyum diatas tangisanku.
"Kamu
bohong. Kita bicara sebentar di luar, ya?" tuduhan yang dilontarkannya
seolah tepat mengenai hatiku.
"Aku
tunggu kamu di depan." Ia berjalan menjauhiku dan keluar dari ruangan ini.
Sesungguhnya
ada sedikit kebahagiaan yang terasa di hati ketika aku masih dapat melihat
jelas mata itu, mata seseorang yang masih aku cintai dengan penuh. Namun tak
dapat kupungkiri juga bahwa aku merasa kecewa dengan dirinya. Rasa sakit yang
kurasakan sejak ia menghilang tidak dapat terhapuskan hanya dengan kehadirannya.
Hati kecilku ingin sekali menemuinya di luar dan menanyakan semua pertanyaan
yang membuat hatiku resah selama ini sebelum akhirnya aku bertemu dengan Neo.
Jujur, masih ada cinta untuknya. Karena kalau rasa itu sudah mati, aku tak
akan pernah ingin tahu lagi tentang dirinya. Akhirnya aku memutuskan untuk
keluar dan menemui Aldo, cinta pertamaku.
Terlihat
ia sedang duduk sambil menatap kearah kaki yang ia gerakkan dengan pelan. Aku
tak dapat menahannya lagi, semua seolah ingin tumpah di hadapannya ketika aku
duduk tepat di samping kanannya. Aku kembali menangis tanpa mengatakan apapun.
"Maafkan
aku, Sya." Kata pertama yang diucap sambil meraih tanganku. Aku tak dapat
menolak lagi, aku membiarkan tangan ini berpadu bersama tangannya yang dulu
pernah melindungiku.
"Aku
nggak bermaksud untuk menghilang dari kehidupanmu, ini semua terjadi begitu
cepat." Suaranya terdengar sedikit serak.
"Aku
mencintaimu, Sya. Aku masih menyayangimu." Ia mencoba memelukku namun aku
segera berdiri.
"Kamu!
kamu menghilang selama lebih dari setahun dan tak pernah memberikan kabar
bahkan satu kabarpun!! kenapa, Do? dan sekarang kamu datang, terus mengatakan
bahwa kamu masih menyayangiku. Kamu anggap apa aku ini? sampah?"
"Bukan
begitu, Sya, semua ini --"
"Cukup!
perlu kamu ketahui, orang yang terbaring di dalam sana adalah pacarku. Dia yang
membantuku untuk keluar dari masa suramku, masa dimana aku kehilangamu. Kamu
tau betapa sakitnya aku, Do?" masih dengan keadaan menangis, aku mencoba
untuk mengungkapkan kegelisahanku.
"Aku
terlalu sakit, do, sakit. Mungkin ada bagusnya kamu menghilang lagi, jangan
pernah lagi temui aku." Aku berjalan menjauhinya.
"Aku
masih menyayangimu." Ia menahan tanganku dan mendekap erat tubuhku.
Kemejanya basah karena tangisku.
"Aku
masih menyayangimu, Tisya." Ia mengulang kata yang sama. Seketika aku
merasakan telingaku yang basah karena air mata seseorang. Ternyata Ia menangis
tertahan.
Aku tak
dapat melihat jelas matanya namun aku tahu bahwa tangisnya tulus. Aku sungguh
dapat merasakan, tangisan ini sama dengan tangisan yang terakhir kali kudengar
ketika ia kehilangan ibunya untuk selamanya. Entah apa yang telah terjadi
selama ini dan apa yang telah ia alami semenjak tak ada kabar darinya seolah
membuatku antara ingin dan tak ingin tahu. Karena aku telah berjanji untuk
melupakannya dan mencintai Neo yang saat ini tak berdaya. Meskipun hingga saat
ini aku masih belum dapat melakukannya. Aku bingung untuk menghadapi semua ini.
Aku terlalu takut untuk memikirkan hal yang akan terjadi setelah ini. Aku masih
mencintai Aldo namun aku tak sanggup menyakiti Neo. Hal yang sedang aku
alami ini mampu membuatku berfikir keras untuk menuntun hati kejalan yang benar
dan saat ini perasaanku masih hanyut dalam tangisannya.
"Kak
Tisya." Aku mengedarkan pandangan kearah suara itu berada.
"Kak
Tisya ngapain pelukan dengan pria lain sedangkan Mas ku masih merenggang
nyawanya disini?"
Bergegas
aku melepaskan pelukan Aldo dan mencoba membuat Gita mengerti akan peristiwa
yang baru saja ia lihat.
"Ini
semua nggak seperti yang kamu pikir, Ta."
"Terserah
apa kata Kak Tisya. Sekarang Mas ku ada dimana?"
"Disana
Ta, ruang ICU." Aku meluruskan tangan menunjuk kearah ruangan tempat Neo
berada.
"Aku
pastikan Mas Neo akan mengetahui tingkah laku kakak." Ancamnya meninggalkanku.
"Gita."
Aku mencoba mengejarnya namun tertahan oleh tangan Aldo.
"Mau
apa lagi? belum cukup udah nyakitin aku dan membuat Gita menjadi salah paham
terhadapku? apa lagi yang kamu mau?"
"Kamu."
Jawabnya tegas.
"Jangan
pernah berharap aku akan kembali padamu, Do."
"Aku
akan terus berharap."
"Terserah
apa katamu."
"Demi
impian kita yang akan kita wujudkan bersama, rumah pohon yang akan kita bangun
di halaman belakang rumah kita kelak dan demi anak-anak kita nanti yang harus
merasakan indahnya teras yang dipenuhi oleh puluhan jenis bunga."
Seketika
aku terdiam mendengarkan semua impian yang pernah kami sepakati dulu.
"Tapi
sekarang udah berbeda, Do. Situasinya udah nggak sama, aku udah jadi miliknya
Neo."
"Tapi
kamu nggak pernah mencintainya, yang kamu cintai hanya aku sampai saat ini.
Terus untuk apa semua dilanjutkan, untuk apa kamu tetap melanjutkan sandiwara
ini, Sya?
"Jangan
pernah merasa kalau kamu tau segalanya tentang diriku lagi."
"Sya,
berhentilah berpura-pura." Pintanya lembut.
"Do,
kamu uda nggak tau lagi semua tentangku, tentang masalahku. Lebih baik kamu
pergi!"
"Aku
tau, Sya. Aku tau dirimu, aku tau siapa kamu dan aku tau semua masalahmu.
Karena masalahmu masih sama yaitu kamu masih belum dapat melupakanku, kamu
masih mencintaiku. Benarkan?"
"Sudahlah
Do, aku tak ingin membahas lagi semua masa lalu. Ini hanya mimpi buruk
bagiku."
"Ini
bukan masa lalu, Sya. Karena semua masih terjadi saat ini, karena kamu masih
mencintaiku hingga detik ini. Ijinkan aku membangunkanmu dari semua mimpi
burukmu." Ia meraih lagi tanganku. Untuk sekian kali air mataku tumpah.
"Iya
kamu benar, aku memang masih mencintaimu. Aku bahkan terus menerus mengharapkan
kedatanganmu selama setahun terakhir, aku berharap aku dapat melihat lagi
matamu itu, aku.., aku terlalu takut untuk menghadapi semua ini sendiri. Karena
tanpamu, aku bagaikan lilin tanpa api. Aku bukan lagi redup, aku bahkan tak
bercahaya, Do. Aku kehilangan cahayaku. Aku kehilanganmu. Namun setelah
melihatmu dihadapanku saat ini, aku semakin mengerti bahwa seharusnya aku
membencimu lebih dari ini. Lebih dari yang telah yang kamu lakukan
padaku." Air mataku semakin deras mengalir.
"Aku
bukan manusia yang tak punya hati sepertimu. Aku nggak akan pernah meninggalkan
Neo hanya untuk orang yang dengan sengaja mencampakkanku. Kumohon, menjauh
dariku mulai saat ini!" Aku berlari menuju pintu keluar dan pergi
meninggalkannya. Aku seperti tak dapat berfikir, hanya hati yang terasa sakit
dan terus memaksa mata untuk menangis.
Mobilku melaju membelah jalan raya untuk waktu yang
lama. Setelah tiba di tempat yang kutuju, aku berjalan mendekati bibir pantai.
Kupejamkan mata untuk beberapa saat sambil merasakan tiupan angin yang segar.
Semua kenangan seolah terulang kembali, semua tawa canda dan tangis pilu yang
dulu pernah terjadi terekam jelas dibenakku. Aku memeluknya, ia menggendongku
dipundaknya, aku mengejarnya diatas pasir putih ini, dan sejumlah rangkaian
kejadian yang kini hanya menjadi kenangan masih belum dapat terhapus dari memori
ingatanku. Karena kuakui, aku memang masih mencintainya hingga saat ini. Entah
bagaimana caranya untuk menghapus rasa ini dan belajar untuk sepenuhnya
mencintai Neo. Bahkan meskipun hati ini telah dilukai oleh Aldo masih belum mampu
membuatku untuk menghapus dirinya. Aku ingin merasakan kembali hangat
pelukannya. Aku masih ingin mengulang masa-masa bahagiaku bersamanya, masa
dimana rasa ketakutanku saat itu hanya ketika ia meninggalkanku bukan seperti
saat ini karena rasa ketakutan terbesarku sekarang yaitu untuk kembali
bersamanya. Aku takut terluka untuk yang kedua kali dan aku takut untuk
mengecewakan Neo. Bagaimana pun ia yang dengan tulus menyayangiku dan
membantuku untuk menghadapi semua masalahku. Harusnya aku dapat menyadarkan
diri untuk lebih mencintainya dan menutup cerita cinta bersama Aldo. Harusnya
seperti itu, namun terkadang hati dan otak tak memiliki pendapat yang sama.
Ketika otak meminta hati untuk membenci seseorang yang telah menyakitiku, namun
hati tak sanggup melakukan hal itu apalagi jika seseorang itu adalah orang yang
pernah kucintai dengan sangat. Itulah yang terjadi padaku saat ini.
“Aku tidak pernah salah ketika mengatakan bahwa kamu
masih mencintaiku, bahwa aku tau semua tentangmu bahkan hingga saat ini.”
Seseorang menyadarkan lamunanku.
“Bahkan setelah semua ini berlalu, kamu masih saja
mengunjungi pantai ini dan mengingat semua kisah kita. Kembalilah padaku, Sya.
Aku masih sangat menyayangimu.” Lanjutnya.
“Apa yang harus aku lakukan? katakan padaku, Do,
katakan. Aku tak sanggup menghadapi semua ini sendiri, menanggung semua beban
dan rasa bersalah ini sendirian. Ketika aku masih mencintaimu namun rasa sakit
ini masih erat melekat, dan ketika aku harus memilihmu namun aku telah
memilikinya. Apa yang harus aku lakukan?”
“Maafkan aku
Sya, selama ini telah membuatmu terluka. Aku sama sekali tak bermaksud melakukan semua itu. Sejak
kepergian Ibu, Ayahku memintaku untuk menyusulnya ke Amerika karena ia merasa
bahwa aku tak memiliki siapa-siapa lagi selain dirinya. Awalnya aku menolak,
namun ia mengancam akan menyakitimu dan
membuatmu membenciku dengan orang-orang bayarannya disini. Aku bingung dengan
caranya berfikir, bagaimana bisa ia tak memiliki hati dan cinta sehingga dengan
gampang ia mengancamku seperti itu. Aku tau bahwa dia orang yang begitu keras.”
“Bagaimana bisa kamu membohongiku selama ini, Do? kamu
mengatakan bahwa ayahmu sudah meninggal.”
“Itu yang membuatku menghilang, Sya. Aku tak mau
membuatmu bingung dengan semua kebohonganku. Sebenarnya aku terlalu benci
dengan Ayah, orang yang telah meninggalkanku dan Ibu disini tanpa memikirkan
kehidupan kami yang sangat membutuhkan seorang kepala keluarga. Itu yang
membuatku selalu mengatakan bahwa ayah telah meninggal karena sebenarnya ia
memang sudah mati bagiku sejak kepergiannya 12 Tahun yang lalu. Ternyata selama
ia menghilang, ia selalu meminta orang memantau perkembanganku hingga aku
besar. Aku tak tau apa yang ada dibenaknya. Ia tak pernah berniat pulang untuk
melihat keadaan ibu sewaktu sakit. Entah terbuat dari apa hatinya. Jika memang
ia tak mencintai Ibu lalu untuk apa dulu menikahi Ibu dan melahirkan aku? aku
merasa seperti anak yang tak diinginkan olehnya. Ia hanya mencariku ketika aku
kehilangan satu-satunya keluargaku dan memaksaku untuk mengikutinya dengan
mengancam untuk menyakitimu, orang yang begitu kucintai.”
“Maafkan aku, sayang. Aku baru bisa menceritakan
semua masalahku saat ini. Maafkan aku menghilang tanpa jejak karena aku tak mau
ini menjadi beban untukmu dan aku tak akan pernah bisa melihatmu disakiti oleh
siapapun. Berat untuk meninggalkanmu namun aku tak memiliki pilihan apapun. Itu
mengapa aku mengikuti semua kemauan Ayahku dengan syarat bahwa ia harus
mengirimkan orang untuk terus memantaumu dan menjagamu, karena aku tau aku tak
dapat berada di sampingmu untuk melindungimu lagi. Itu alasannya hingga saat ini
aku masih sangat mengenalmu, aku dapat mengetahui apa saja yang terjadi padamu
dan apa saja masalah yang kamu alami karena aku mengintaimu dari jauh.”
Hal yang baru saja aku dengar dari mulut Aldo mampu
membuatku kehilangan kata-kata. Semua ini menyadarkanku bahwa aku tak harus
membenci dirinya. Yang kurasakan saat ini hanya ingin memeluknya. Namun tanpa
perlu aku katakan, Aldo memang seolah mengetahui semua tentangku. Ia seperti
dapat membaca fikiranku. Ia meraih tubuhku dan menghanyutkanku kedalam
pelukannya.
“Aku pulang kesini karena aku sudah tak dapat
menahan rindu padamu, Sya. Aku sangat merindukan dirimu dan semua tingkah
lakumu. Dan selama ini aku selalu menjaga hati untukmu Sya, sampai waktunya
tiba dimana aku bisa memelukmu lagi dan melihat senyummu.”
Aku tak berniat untuk mengatakan apapun karena yang
kuinginkan saat ini hanya memeluknya dalam keheningan. Namun Aldo kembali
melanjutkan ucapannya.
“Besok aku akan kembali lagi ke Amerika.”
Pernyataan itu seolah mencambuk kembali hatiku yang
baru saja kering lukanya. Aku melepaskan pelukan dan menatap matanya.
“Lalu untuk apa kamu menemuiku kalau hanya untuk
meninggalkanku lagi?”
“Bercanda sayang, serius amat.” Ia mencolek hidungku
seperti yang sering ia lakukan padaku dulu. Ternyata tak ada yang berubah
darinya hanya penampilannya yang jauh lebih rapi dibanding dulu.
“Aku uda bicarakan dengan Ayah dan memintanya untuk
membiarkanku pulang ke Indonesia demi menemui cinta sejatiku. Dan akhirnya ia
mengijinkannya dengan syarat aku harus membangun usaha disini dengan modal yang
ia beri dan bekal ilmu yang sudah kudapat darinya disana. Dan ada dua syarat
lagi yang harus aku penuhi karena telah memberiku ijin untuk pulang menemuimu.”
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Pertama ia memintaku untuk terus mengunjunginya
kesana dan kepergianku harus selalu didampingi oleh cinta sejatiku.”
“Terus?”
“Yang kedua, Ayah menginginkan cucu dari kita.”
Pernyataannya membuatku tersenyum dan tersipu malu.
“Yuk, kita buatkan cucu untuk Ayah.” Goda Aldo yang
mengagetkanku.
“Aldo!!” spontan aku memukuli lengannya. Ia tertawa
geli melihat tingkahku.
“Bercanda, sayang.” Ia mengecup keningku dengan
lembut. Namun kembali aku memikirkan Neo yang membuat raut wajahku berubah
murung seketika.
“Kamu kenapa, Sya?”
“Neo, Do. Aku bingung bagaimana untuk menjelaskan
padanya, aku terlalu takut menyakitinya. Ia sudah sangat baik dan menyayangiku
selama ini.”
“Belumkah kamu menyadarinya, sayang? Neo adalah
orang yang memang dibayar oleh ayah untuk selalu menemanimu dan menjagamu dari
bahaya. Dia adalah teman kecilku. Dan aku nggak akan pernah rela kalau kamu
jadian sama orang lain, itu yang membuatku meminta kepada Neo untuk melakukan
semua ini untukku, karena aku sangat mengenalnya. Dan aku yakin kalau aku pasti
akan kembali untuk menjemputmu, Sya. Memang akhir-akhir ini Neo berusaha
menolak uang kiriman Ayah karena sepertinya ia jatuh cinta beneran denganmu dan
ingin melindungimu dengan tulus. Itu yang membuat Ayah menjadi khawatir kalau
aku akan patah hati dan mengijinkanku untuk pulang menjemput cintaku. Entahlah,
Ayah seperti kembali mengenal rasa cinta sejak ia memiliki istri yang baru. Ia
seperti tau bagaimana rasanya kehilangan.”
“Jadi selama ini, Neo adalah orang panggilan Ayahmu?
semua ini sulit untuk kupercaya. Bagaimana bisa kamu meyakinkan dirimu bahwa
aku masih menyimpan cinta untukmu?”
“Karena aku mendengar sendiri dari Neo bahwa ia
melihat tidak ada cinta di matamu untuknya, ia berkata matamu tidak bersinar
ketika melihatnya. Hal yang meyakinkanku bahwa kamu masih sangat mencintaiku,
karena aku masih mampu merasakan sinar matamu Sya hingga saat ini.”
“Kenapa kamu bisa melakukan hal senekat ini, Do?
bayangkan aja kalau misalnya aku beneran mencintai Neo dan mampu melupakanmu.
Tentunya kita nggak akan pernah bisa bersama lagi.”
“Aku akan berbuat apapun untuk mengembalikan cintamu
padaku.”
“Bagaimana bisa, sedangkan ketika hati seseorang
telah bersemi untuk orang baru tentu sulit untuk mengembangkan hati lama yang
telah layu.”
“Aku akan cari obat apapun untuk mengembangkan
hatimu yang sudah layu itu Sya, kemanapun akan aku cari asal bisa mendapatkanmu
kembali.”
“Mana ada obat seperti itu.”
“Pasti ada, karena kamu harus tau ketika dua
orang telah ditakdirkan untuk berjodoh maka apapun obatnya tentu udah
disiapkan oleh Tuhan agar ia dapat menjemput kembali jodohnya. Dan aku sangat
yakin bahwa kamulah jodohku sejak pertama kali aku melihatmu.”
“Gombaaaaaal.” Aku melambungkan cubitan di pipinya.
“Seriusan sayang. Yuk pulang, besok aku akan kembali
lagi ke RS dan mengurusi semua biaya Neo sekaligus berterima kasih kepadanya
karena telah menjagamu hingga aku kembali menjemputmu.”
“Iya Do, besok aku juga mau bertemu dengan Neo dan
meminta maaf kepada Gita.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Untuk kejadian tadi di RS.”
“Jangan, biarkan itu menjadi masalahku dengan Neo.
Aku nggak mau kamu dijadikan bahan cercaan Gita.”
“Tapi bagaimana kamu bisa mengenal Gita dan dia
tidak mengetahui semua masalah ini?”
“Aku yang meminta Neo untuk merahasiakan ini dari
siapapun termasuk adiknya. Dan berhubung Neo adalah teman kecil, Gita tidak
terlalu mengenaliku. Karena dulu aku jarang sekali menemui Neo dirumahnya.
Kalau memang kami saling membutuhkan biasanya kami bertemu di luar.”
“Pantas aja. Yuk, pulang.”
“Tunggu, aku sudah memanggil orang untuk membawa
mobilmu pulang dan kamu ikut bersamaku. Karena aku nggak mau kamu pulang
sendirian. Habis nangis lagi, pasti kamu mengantuk.”
“Terima kasih sayang, kamu memang selalu
memperhatikanku dari dulu.”
0 komentar